DEWA SIWA
Kisah Tentang Dewa Siwa
Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi
dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama
Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan
Āgama.Dalam kitab
Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah
dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri
telah ada, yaitu Rudra.
Kelahiran Rudra
Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran
Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang
memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia
merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya.
Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang
artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam
kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah
kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti
penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari
kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang
baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan
setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang
berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa
Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan
oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba
muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya.
Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama.
Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi.
Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama,
masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di
samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Çiwa dalam kelompok
Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.
Siwa Mahādewa
Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai
Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan
asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa
menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk
menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari
masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa
dianggap sebagai dewa tertinggi.
Pertama kalinya Çiwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat
dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang
digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu
disebut Pasupati (sloka 219b).
Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata
sloka 222a. Sebutan lain untuk Çiwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga.
Sebutan ini didapatkan Çiwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk
“mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena
kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik
bercengkerama dengan Çiwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Çiwa menciptakan
mata ketiga pada keningnya.
Siwa Trinetra
Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab
Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati,
anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena
ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Siwa
pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta
kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”.
Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu
para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah
anak Çiwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Çiwa.
Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah
para dewa disertai Parwati ke tempat Çiwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa
Kāma, Çiwa “terbangun”. Çiwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka
mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu.
Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Çiwa “jatuh cinta” pada
Parwati.
Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya
datang menghadap Çiwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk
menghibur rati, Çiwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai
Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta
kelahiran Kumara /Kartikeya atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka /Tarkasura.
Siwa Nilakantha
Çiwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang
berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk
mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk
menyelamatkan para dewa, Çiwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya
binasa, menekan leher Çiwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun
itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya.
Sejak itulah Çiwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.
Asal Mula Atribut Siwa
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan
pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai
hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi
ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan
melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya
mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi
dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa
bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular.
Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu
gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Çiwa dapat
melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu
menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa.
Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Çiwa mendapat
julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa
diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Çiwa yang dimintai
pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Çiwa yang mengenakan pakaian
kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.
Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya,
Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah
seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak
perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan
semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa
waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan
mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang
tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan
keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan,
mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar
mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan
dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam
belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan
hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran
menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak
dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang
menasihatinya agar pergi menghadap Çiwa. Santiran langsung menuju Gunung
Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Çiwa. Çiwa yang berbelas kasihan kemudian
mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil
berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh
Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan
berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Çiwa dihiasi bagian
tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak
(ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Çiwa juga
dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.
Sapi Jantan Wahana Dewa Siwa
Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau
banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma
menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana
Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang
sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang
sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa
menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima
pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Çiwa.
Komentar
Posting Komentar